Network
LingkarMadiun.com - Striker yang luar biasa dapat membuat perbedaan dalam pertandingan tetapi juga dapat mengganggu sistem taktis tim yang mereka bela.
Kasus Erling Haaland di Man City menjadi contoh menarik bagi para peneliti sepakbola. Tidak ada yang bisa mengatakan bahwa Haaland melemahkan Man City.
Namun yang jelas, penguasaan bola dan skema “virtual striker” yang dibangun Pep Guardiola di Etihad Stadium selama lebih dari setengah dekade membuat penyerang asal Norwegia itu butuh waktu lebih lama untuk berintegrasi.
Sebaliknya, performa dan hasil Man City di lapangan musim ini bersama Haaland lebih buruk dari periode yang sama tahun lalu.
Ini adalah paradoks yang bisa dimengerti. Pep masih ingin mempertahankan filosofinya dalam mengontrol bola, namun ia paham bahwa mengulang cara bermain lama (virtual striker) belum mampu membawa Man City ke puncak Liga Champions.
Baca Juga: Terang-terangan Ungkap Kemarahan Meski Man City Menang, Pep Guardiola: Saya Tidak Menginginkan...
Sepak bola modern terus berubah dan juara bertahan Inggris membutuhkan perubahan untuk memperbarui diri. Mantan pelatih Barcelona itu berulang kali mengakui bahwa mempertahankan keinginan tim setelah setiap puncak selalu menjadi hal tersulit.
Setelah comeback menang 4-2 melawan Tottenham pada pertandingan putaran ke-7 Liga Inggris tengah pekan ini, Pep geram. Ia menyebut para pemain Man City terkesan berpuas diri setelah menjuarai Liga Inggris selama bertahun-tahun.
“Kami adalah tim yang terlihat bahagia dan puas dengan semua yang terjadi, saya tidak menginginkan ini. Saya tidak menyangkal betapa bahagianya kami (setelah menang). Tapi kami sangat jauh, jauh dari tim. itu di masa lalu, sangat, sangat jauh," kata Pep.
