Sempat Dipakai dalam Wabah Virus Zika, Teknik Cetak 3D Bisa Dipakai untuk Pengobatan Covid-19

30 Juli 2020, 05:35 WIB
Pencetak 3 dimensi. /Pixabay/Lutz Peter /

LINGKAR MADIUN-Di masa habisnya stok perlengkapan perlindungan diri dari virus di tengah pandemi virus Corona ini, percetakan 3 D  (bioprinting) telah membantu mengisi celah-celah kosong tersebut.

Tetapi, seperti dilansir New York Times, Rabu, 29 Juli 2020 Anthony Atala, direktur Wake Forest Institute for Regenerative Medicine, dan timnya berinovasi dalam proses 3D printing tersebut; mereka membuat replika kecil dari organ manusia – beberapa bahkan sekecil kepala peniti – untuk menguji obat untuk melawan Covid-19

Tim tersebut membuat miniatur paru-paru dan usus besar – dua organ terkena dampak paling signifikan karena virus Corona – lalu mengirimkannya melalui pengantar paket ke laboratorium George Mason University di Fairfax, Virginia, untuk dites.

 

Awalnya mereka membuat organoid-organoid tersebut secara manual menggunakan pipet, tetapi di tengah merajalelanya pandemi ini mereka mulai mencetak miniatur ini secara besar-besaran untuk membantu penelitian. 

Beberapa tahun terakhir, institut di mana Dr. Atala bekerja telah mencetak sel-sel kecil ini untuk menguji efektivitas obat melawan bakteri dan penyakit menular seperti virus Zika.

Tetapi kita tidak pernah menduga ini akan digunakan untuk sebuah pandemi,” ucapnya. Timnya mampu mencetak sebanyak ribuan perjam, kata Dr. Atala di labnya di Winston-Salem, N.C.

Proses menyusun jaringan organ manusia seperti ini merupakan bentuk bioprinting.

Walaupun penggunaannya pada manusia masih memerlukan beberapa tahun lagi, para peneliti telah mengasah metode-metode untuk menguji obat-obatan dan, suatu saat nanti, untuk membuat kulit dan organ utuh untuk di transplantasi.

Para peneliti sedang membuat kemajuan dalam pencetakan kulit, hal yang penting untuk korban kebakaran; dalam menyembuhkan penyakit seperti diabetes dimana penyembuhan luka itu tidaklah mudah; dan dalam pengujian kosmetik tanpa menyakiti hewan atau manusia.

“Bahkan bagi kami pun hal ini rasanya seperti cerita fiksi ilmiah,” kata Akhiesh Gaharwar, yang mengorganisir lab lintas-disiplin di departemen teknik biomedical di Texas A&M University. Lab yang fokus pada bioprinting dan metode lainnya untuk pengobatan regeneratif.

Kanker dan penyakit lainnya

Peran bioprinting untuk analisis farmasi saat ini sangat penting, tidak hanya berpotensi sebagai pengobatan Covid-19, tetapi juga sebagai pengujian untuk kanker dan penyakit lainnya.

Dr. Atala mengatakan bahwa organoid membuat para peneliti dapat menganalisis dampak suatu obat pada organ tanpa dipengaruhi oleh metabolisme makhluk hidup. 

Ia mengutip Rezulin, obat diabetes populer yang ditarik dari publik di tahun 2000 setelah ada bukti kalau obat tersebut mengakibatkan gagal hati. Labnya menguji versi arsip dari obat tersebut, dan dalam dua minggu terlihat jelas betapa beracunnya obat tersebut pada hati, ucap Dr. Atala.

Jadi apa perbedaannya? Sebuah organoid merupakan replika suatu organ dalam keadaan paling murninya dan menyediakan data yang mungkin tidak akan terjadi di uji klinis, asalkan percobaannya itu sebagai tambahan dan bukan pengganti dari uji klinis.

Pengujian pada kulit hasil bioprinting atau pada miniatur organ lain juga dapat menunjukan dengan jelas obat mana yang bekerja dengan baik pada hewan seperti tikus, tetapi tidak bekerja dengan baik pada manusia.

Model-model 3D itu dapat menggantikan pengujian pada hewan dan memperkuat pedoman jalur klinis dari lab ke klinik, “ ujar Dr. Gharwar. Pedoman yang menganggap penting produk untuk konsumen dan juga untuk obat-obatan farmasi; Sebagai contoh, sejak 2013, Uni Eropa telah melarang perusahaan kosmetik menguji produk mereka pada hewan.

Bahan dasar untuk organ buatan ini disebut sebagai rangka, dibuat dari bahan biodegradable yang dapat terurai secara sendirinya. Untuk menyediakan nutrisi pada organoid tersebut, di dalam kerangkanya diberikan saluran-saluran mikroskopik berdiameter 50 mikron – sekitar setengah diameter rambut manusia.

Ketika selesai, bioink - kombinasi dari sel dan hidrogel yang menyatu menjadi agar-agar - lalu dicetak ke kerangka tersebut seperti kue lapis, kata Dr. Atala.

Faktor penting lainnya dari proses ini adalah menyusun pembuluh darah sebagai bagian dari pencetakan.

Pankaj Karande, seorang asisten profesor teknik kimia dan biologi di Rensselaer Polytechnic Institute, telah bereksperimen dengan pencetakan kulit sejak tahun 2014 dan telah sukses melakukannya akhir-akhir ini.

Dengan menggunakan sel yang dikenal sebagai fibroblas, yang bersamaan dengan kolagen membantu pertumbuhan, sebagai rangka, para peneliti di insititut mencetak epidermis dan dermis, dua lapisan kulit pertama. (Hipodermis adalah lapisan ketiga) “ternyata sel-sel kulit tidak keberatan untuk diukur,” kata Dr. Karande, dan mereka pada akhirnya bisa bertahan hidup, seperti dikutip The New York Times.

 

Editor: Dwiyan Setya Nugraha

Tags

Terkini

Terpopuler