Parah! Birokrasi Ribet, Pasien Covid-19 Meninggal Dunia

- 4 Agustus 2020, 21:04 WIB
Penggali kubur membawa peti mati Avelino Fernandes Filho, 74, yang meninggal karena penyakit coronavirus (COVID-19), selama pemakamannya di Rio de Janeiro, Brasil/REUTERS
Penggali kubur membawa peti mati Avelino Fernandes Filho, 74, yang meninggal karena penyakit coronavirus (COVID-19), selama pemakamannya di Rio de Janeiro, Brasil/REUTERS /

LINGKAR MADIUN-Gara-gara birokrasi rumah sakit ribet, seorang pria bernama Grover Ponce meninggal dunia.

Ia harus dilarikan ke rumah sakit sebanyak 6 kali. Istrinya yang bernama Paola Medina berjuang melawan rumitnya sistem kesehatan di Bolivia untuk meyelamatkan nyawa suaminya 2 Minggu sebelum ia meninggal karena Covid-19.

Baru beberapa hari setelah Grover Ponce dirawat di Rumah Sakit La Portada di La Paz, ia terpaksa harus pindah rawat di Rumah Sakit El Alto. Namun, nyawanya tak berhasil diselamatkan pada hari Minggu waktu setempat atau Senin WIB.

Dilansir The Guardian, istrinya sangat terpukul oleh kepergian suaminya. Ia juga mengkritik keras terhadap rumitnya sistem kesehatan disana. Kematian Ponce dan usaha istrinya menjadi salah satu bukti sulitnya Boliviamenangani tingginya kasus Covid-19.

Pasalnya, pada hari Kamis, telah tercatat bahwa jumlah kasus Covid-19 disana mencapai 75.234 kasus, sementara angka kematiannya mencapai 2.894, walaupun para ahli menganggap bahwa jumlahnya dapat lebih besar lagi.

Ditambah lagi, para polisi telah mengumpulkan lebih dari 3.300 jasad yang dikabarkan mati di rumah maupun di jalanan, dan 80% dari jasad-jasad tersebut diduga telah terinfeksi Covid-19.

“Terkadang para pasien sudah meninggal terlebih dahulu sebelum mereka dirawat,” ujar Norma, seorang suster di salah satu rumah sakitumum di La Paz.

“Kita tak punya kekuatan kita tak mampu memberi mereka oksigen karena banyak sekali yang membutuhkannya. Melihat mereka meninggal seperti itu membuat saya sedih,” paparnya.

Norma menambahkan bahwa ia harus terus membantu para pasien walaupun ia dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.

“80 persen dari kita telah terinfeksi dan bagian buruknya ialah kita bisa saja menularkannya kepada keluarga kita,” ujarnya.

Lebih parah lagi, banyak dari para warga di Bolivia terpaksa mengonsumsi disinfektan yang beracun untuk menangani Covid-19. Menteri Kesehatan disana telah memperingati warganya, namun sebulan yang lalu, sebuah kongres yang dipengaruhi oleh oposisi telah mempromosikan bahan kimia tersebut dan pembuatannya telah disepakati oleh senat disana.

Pemilu yang harusnya sudah dilakukan disana pada bulan Mei pun telah ditunda untuk yang kedua kalinya, yang membuat presiden sementara Bolivia, Jeanine Áñez, masih melanjutkan pemerintahannya sampai akhir tahun.

Áñez, yang minggu lalu dikabarkan telah sembuh dari Covid-19, telah bertugas kembali setelah dikabarkan kabur saat diminta untuk mengundurkan diri atas dugaan kecurangan pemilu.

Pergantian pemerintahan ini telah berimbas pada buruknya sistem kesehatan di negara ini, dengan nihilnya perekonomian, perlengkapan kesehatan, rumah sakit, dan tenaga medis,” ujar Dr. Luís Larrea, seorang Kepala dari Bolivian Medical Association di La Paz.

Ia juga menambahkan bahwa provinsi La Paz hanya memiliki 74 dokter, sementara mereka harus menangani lebih dari 2 juta orang pasien.

“Mereka telah membuat museum, mereka juga telah membuat banyak gedung besar untuk para pemimpin negara, namun mereka tidak peduli terhadap kesehatan negara,” tambahnya.

Ketika Ponce, seorang sopir dari pemerintah lokal La Paz, mendatangi sebuah klinik, ia diberitahu bahwa ia mengalami demam walau itu bisa saja mengindikasi adanya penyakit lain.

Ia juga mendatangi rumah sakit lainnya, dan kemudian berpindah lagi ke rumah sakit dimana ia dites namun hasilnya akan muncul dalam 1 minggu.

Istrinya mengatakan bahwa di rumah sakitkeempat, hasil dari rapid test dinyatakan negatif, namun sebuah gambar x-ray dari paru-parunya menunjukkan bahwa kondisi tubuhnya sudah sangat memburuk. Para dokter menyarankan Ponce untuk segera dirawat namun daya tampung rumah sakit disana sudah tidak memadai.

“Kita tidak tahu harus pergi kemana lagi. Kita sudah menelpon ke rumah sakit manapun namun selalu penuh,” ujar Medina.

Kita melewati malam terburuk yang pernah kita alami. Kita bahkan tidak punya oksigen!” katanya.

Saat suaminya kesulitan untuk bernapas, kakaknya sempat membeli tabung oksigen, namun oksigen tersebut habis pada jam 2.30 dini hari.

Untungnya, berkat telepon dari bos suaminya, ia akhirnya dirawat di rumah sakit umum minggu lalu, namun kondisinya tak kunjung membaik karena Ponce harus menunggu berhari-hari untuk donor plasma darah dari orang yang telah sembuh dari Covid-19.

Medina telah meminta bantuan donor plasma darah tersebut di media sosial, namun, saat bantuan donor tiba, butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan persyaratan-persyaratannya.

“Sampai hari ini kita masih menunggu ... suamiku sudah tidak bersama kita lagi, dan tidak ada kabar yang datang,” tuturnya.

Akhirnya, pada hari Minggu, penanganan intensif tersedia di El Alto, dan Ponce langsung segera dirawat tetapi ia meninggal beberapa jam kemudian.***

Editor: Ninna Yuniari

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x