Artinya, total harta pasangan calon kepala daerah tidak mencukupi biaya pilkada.
"Dari hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon bahkan dari LHKPN itu minus," tutur Firli.
Baca Juga: Waspada Saat Update Windows 10, Begini Cara Kerja Malware
"Jadi, total hartanya cuma rata-rata Rp18 miliar bahkan ada tidak sampai Rp18 miliar. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada," tambahnya.
Berdasarkan survei KPK pada pelaksanaan pilkada 2015, 2017, dan 2018, jelasnya, total harta rata-rata satu pasangan calon adalah Rp18.039.709.967.
Bahkan ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15.172.000.
Baca Juga: Klaim Kotoran Sapi Anti Radiasi, India Produksi Chip Harga Rp 10 Ribu
"Jadi, ini wawancara 'indepth interview' ada yang ngomong Rp5 miliar sampai Rp10 miliar tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus. Mau 'nyalon' saja sudah minus," tutur Firli.
Selain itu, ia pun mengungkapkan dari hasil penelitian terdapat 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh pihak ketiga atau sponsor.
"Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017 ada 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018 ada 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.***(Muhammad Hafid, Seputar Tangsel)