LINGKAR MADIUN - Sebenarnya, gaya kepemimpinan Indonesia berkaitan dengan kearifan lokal budaya Jawa.
Berbagai buku falsafah menuliskan dan mengatur hidup serta tingkah laku orang Jawa. Hal ini ada sejak jaman sastra Jawa dibuat.
Contohnya Mpu Tantular menggunakan bahasa sansekerta dan menuliskan “Bhinekka Tunggal Ika” yang sekarang menjadi semboyan persatuan Indonesia.
Dalam "Budaya Politik Diantara Primordialisme Dan Demokrasi" tulisan Elly Yuliawati adanya kearifan lokal ini ternyata juga tertuang dalam serat Uga Siliwangi di bait awal.
Siliwangi menuliskan bahwa Pajajaran telah hilang tidak meninggalkan jejak, kemudian memasuki jaman baru mengenai penjajahan oleh orang asing.
Baca Juga: Jarak Bukan Halangan, Tips Memperingati Hari Ibu di Masa Pandemi Covid-19
Baca Juga: Karakteristik dan Gaya Kepemimpinan 7 Presiden Indonesia
Inilah tanda berakhirnya masa penjajahan. Yaitu dengan adanya getaran dahsyat di ujung laut utara atau setelah Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika.
Setelah itu Indonesia memasuki babak baru dengan prediksi menarik dari naskah uga Siliwangi dalam salah satu baitnya yang tertulis sebagai berikut:
"lajungadeg deui raja, asalna jalma biasa, Tapi memang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. Da puguh titisan raja, raja anyar hésé apes ku rogahala"
Baca Juga: Peringatan Hari Ibu 2020: Berikut ini Kumpulan Hadiah yang Bisa Kamu Berikan Kepada Ibu Tercinta
Baca Juga: Gigi Dewasa Tumbuh, Racik Resep ini di Rumah dan Hilangkan Sakitnya
Artinya, akan tampil sosok raja (pemimpin), asalnya orang biasa, tetapi masih keturunan raja (ningrat), keturunan raja masa lampau dan ibunya putri pulo Dewata (Bali) dan jelas keturunan raja, raja baru sukar di kalahkan oleh segala masalah.
Seperti yang kita ketahui bahwa Presiden Soekarno merupakan keturunan ningrat Jawa dan ibu beliau berasal dari Bali.
Hal ini menarik perhatian karena apa yang digambarkan oleh serat Uga Siliwangi bisa dikonfirmasi dengan fakta sejarah saat ini. ***