Luar Biasa, Berada di Ruang Angkasa Ternyata Begini Cara Puasa Astronot Muslim Ini! Simak Ulasan Menariknya

14 Mei 2021, 15:33 WIB
Ilustrasi astronot /Pixabay/

Lingkar Madiun- Pernahkah terlintas di benak kamu tentang puasa bagi astronot? Bernafas di luar angkasa saja sangat mewah dan susah apalagi jika harus menahan haus dan lapar. Namun ada seorang astronot muslim yang berhasil menaklukan tantangan ini.

Saat Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al Saud berangkat pada 17 Juni 1985 melalui pesawat angkasa. Pangeran Saudi ini akhirnya bisa mendarat mulus di angkasa.

Selain itu, dia juga menjadi astronot muslim pertama yang berhasil mengunjungi angkasa luar. Setiap astronot selalu dititipkan misi saat bertugas. Misi Salman berlangsung selama 7 hari, 1 jam, 38 menit, 52 detik.

Baca Juga: Luar Biasa, 13 Warna Ini Ungkap Hal Menakjubkan Tentang Aura Kamu! Cari Tahu Warna Auramu Disini

Dalam bukunya yang berjudul Seven Days In Space ia menceritakan pengalaman spiritualnya saat disana tentang bagaimana ia harus bersikap ketika puasa serta ibadah lain seperti shalat.

Bukan hanya itu, Salman juga merasa bahwa manusia hanyalah setitik debu di alam semesta.

“ Manusia harusnya tetap rendah hati dan tidak menuhankan diri sendiri,” ujar Salman.

Baca Juga: Jangan Makan Lagi! 5 Camilan Ini Dapat Merusak Kesehatan Anak, Picu Kanker Salah Satunya

Saat ini setidaknya sudah ada 11 astronot muslim yang telah sukses mendarat di luar angkasa, hanya saja tidak semua melakukan misi saat bulan Ramadhan. Sebab beberapa astronot hanya bertugas selama belasan hari.

Seorang astronot pertama yang berasal dar Malaysia yaitu Sheikh Muszaphar Shukor saat dikirim di ACC, bulan Ramadhan telah berada di penghujung hanya sekitar tiga hari sebelum lebaran Idul Fitri.

Baca Juga: Ikatan Cinta 14 Mei 2021, Hasil Tes DNA Sudah Berada Ditangannya, Aldebaran Segera Memberitahu Andin

Shukor telah berpuasa selama pelatihan, ia bersikeras ingin melanjutkan puasanya di luar angkasa, hanya saja ACC mengelilingi bumi 16 kali dalam sehari yang berarti matahari terbit dan tenggelam setiap 90 menit.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa para astronot yang ingin berpuasa memang harus mengambil jam puasa yang berada di bumi.

Akan tetapi Thomas sepakat bahwa sebaiknya para astronot ini disamakan dengan status musafir.

“Dari Aisyah RA, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan. Lantas beliau pun menjawab, ‘Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah.” (HR. Muslim)

Baca Juga: 6 Kue Khas Lebaran yang Tak Pernah Terlewatkan di Toples Rumah

 

Para astronot dianggap sedang melakukan perjalanan di ruang angkasa, maka mereka dibolehkan untuk tidak puasa namun harus menggantinya saat nanti mendarat di Bumi.

Selain itu, waktu siang dan malam di luar angkasa sangat berbeda dengan di Bumi. Perubahan waktu tersebut juga diatur beberapa kali di stasiun luar angkasa internasional.

Kebingungan tersebut juga diperkuat oleh Dewan Fatwa Nasional Malaysia yang menerbitkan buku panduan untuk beribadah di ACC. Mereka menuliskan bahwa puasa bisa dilakukan di ACC atau kompensasi di Bumi selama bulan Ramadhan. Waktu untuk berpuasa disesuaikan dengan zona waktu dari diluncurkannya astronot.

Baca Juga: Ceritakan Suasana Lebaran, Berikut Ini Beberapa Lagu Religi Favorit yang Bisa Kamu Putar

 

Pernyataan tersebut kembali dijelaskan oleh mantan Menteri Sains Malaysia Jamaluddin Jarjis bahwa Shukor diperbolehkan untuk menunda puasanya hingga kembali ke Bumi.

Menurut Imam Ahmad, jika dalam kondisi perjalanan, maka berbuka lebih afdhol. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih afdhol adalah yang lebih mudah. Maka, orang yang lebih mudah baginya berpuasa ketika itu dan sulit baginya akan meng-qadha kemudian hari, maka lebih utama ia berpuasa.”

Ruksah atau keringanan berpuasa pada zaman Rasulullah SAW dilakukan karena safar atau perjalanan cenderung berat dan menyulitkan.

Ada banyak pendapat ulama dalam menentukan batas-batas safar, dalam kitab Al-Fiqhul Islami karya Dr Wahbah al-Zuhaili beliau menerangkan bahwa keumuman mengambil batas jarak safar seperti pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal adalah berjarak sejauh 89 KM.

 Sementara luar angkasa, Federation Aeronautique International (FAI) menetapkan bahwa ketinggian 100 KM atau 62 mil ditetapkan sebagai batasan antara atmosfer dan angkasa.

Wallahu a’lam bishawab.***

Editor: Yeha Regina Citra Mahardika

Sumber: YouTube Islam Populer

Tags

Terkini

Terpopuler