Lingkar Madiun- Pagi, 6 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengumpulkan menteri-menteri Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Soal yang akan dirapatkan tak lain adalah peristiwa pembunuhan enam jenderal utama Angkatan Darat yang terjadi sepekan sebelumnya.
Dalam sidang itu PKI, yang dituding berada di balik layar Peristiwa G30S, diwakili Njoto dan M.H. Lukman. Aidit, sang ketua, belum diketahui keberadaanya. Pada pokoknya, Njoto menyatakan bahwa PKI tak terlibat dan peristiwa itu adalah masalah internal Angkatan Darat.
Baca Juga: Pakar Kesehatan Sebut Mandi di 3 Waktu Ini Dapat Beresiko Menyebabkan Penyakit
Presiden Soekarno sendiri kemudian angkat bicara, menganggapnya sebagai peruncingan biasa dalam suasana revolusi.
“Een rimpeltje in de oceaan—riak-riak kecil di tengah lautan,” demikian kata Soekarno.
Wartawan secara terbatas dibolehkan meliput sidang itu. TVRI pun menyiarkannya, sehingga Ratna Sari Dewi, istri Soekarno yang orang Jepang itu, bisa menontonnya dari kediamannya di Jakarta.
Selama beberapa hari ia belum bertemu suaminya dan tentu saja ia gusar. Tapi tayangan TVRI itu bukannya mengobati, malah membikin Dewi makin gusar. Di layar TV Soekarno tampak tenang dan banyak senyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Soekarno tampak santai guyonan dengan wartawan dan merokok. Melihat itu Dewi kecewa dan lantas menulis surat untuk memperingatkan Soekarno.