5 Film Mengenai G30S PKI, Salah Satunya Film Dokumenter Pengakuan dari Algojo

- 27 September 2020, 15:40 WIB
Puisi Tak Terkuburkan adalah film drama dokumenter pemenang penghargaan tahun 2000 yang disutradai oleh Garin Nugroho dan merupakan film hitam putih.
Puisi Tak Terkuburkan adalah film drama dokumenter pemenang penghargaan tahun 2000 yang disutradai oleh Garin Nugroho dan merupakan film hitam putih. /

LINGKAR MADIUN - Film berjudul Penghkhiatan G30S PKI tayang di SCTV, Minggu 27 September 2020. Sebetulnya film ini menuai kontroversi.

Di jaman Order Baru, film ini jadi tontonan wajib. Namun sejak reformasi aturan itu diubah. Film Penghkhiatan G30S PKI hanyalah salah satu versi dari peristiwa G30S PKI.

Baca Juga: Karyawan Bebas Wajib Pajak PPh 21, Dirjen Pajak RI: Uangnya untuk Belanja!

Baca Juga: Waduh, Wakil Ketua DPRD Tegal Konser Dangdut, Kapolsek Tegal Dicopot

Baca Juga: Login www.prakerja.go.id, Besok Terakhir Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 10

Selain film tersebut, masih banyak film alternatif yang juga menarik untuk ditonton. Terutama untuk menambah wawasan tentang sejarah.

Berikut Tim Lingkar Kediri merangkum 5 film seputar peristiwa G30S PKI.

1. Puisi Tak Terkuburkan

Puisi Tak Terkuburkan adalah film drama dokumenter pemenang penghargaan tahun 2000 yang disutradai oleh Garin Nugroho.

Film ini merupakan film yang unik, dengan gambar sinematik hitam putih. Pada Festival Film Internasional Singapura tahun 2001, film ini memenangkan Hadiah FIPRESCI dan Silver Screen Award for Best Asian Actor yang diberikan kepada Ibrahim Kadir yang berperan sebagai penyair.

Film ini juga dinominasikan untuk Silver Screen Award Best Asian Feature Film. Nugroho juga memenangkan Silver Leopard Video Award pada Festival Film Internasional Locarno.

Sementara itu, film ini berkisah tentang kisah nyata seorang penyiar didong, Ibrahim Kadir (Ibrahim Kadir), ketika dipenjara tahun 1965 di tanah Gayo, Aceh selama 22 hari.

Dan akhirnya dilepaskan karena ternyata salah tangkap. Selama berada di penjara, tugas Ibrahim yaitu mengarungi kepala rekan-rekan sepenjara yang entah dibawa ke mana, dan tak pernah kembali lagi.

Ditembak mati, tanpa kejelasan pengadilannya. Mereka yang dipenjara juga tidak tahu kapan atau apakah mereka juga akan mendapat giliran mereka untuk dieksekusi. Suasana menunggu menjadi tak jelas juntrungannya.

Dalam suasana demikian ini, Ibrahim Kadir masih sempat menciptakan puisinya. Reaksi berlainan mucul pula dari mereka yang terpenjara itu, maupun dari wanita-wanita yang bekerja di dapur penjara.

2. Senyap

Senyap atau  The Look of Silence adalah film dokumenter kedua karya sutradara berkebangsaan Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer dengan tema sentral pembantaian massal 1965 setelah film Jagal.

Senyap menyoroti kisah Adi, seorang penyintas dan keluarga korban yang menghadapi kenyataan ketika dirinya dan keluarganya dituduh sebagai bagian dari PKI.

Walaupun tema sentralnya sama, film ini berbeda dengan film Jagal yang menyoroti sisi pelaku pembantaian.

Film Senyap pertama kali diputar di Indonesia pada 10 Desember 2014 secara serentak di berbagai kota, sebagai bagian dari peringatan Hari HAM Sedunia.

Seperti film pendahulunya, Jagal, film Senyap juga masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik.

 Film Senyap adalah film produksi Indonesia pertama yang masuk dalam nominasi Oscar.

3. 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy

"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" atau "40 Years of Silence: Sebuah Tragedi Indonesia" adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh antropolog Robert Lemelson tentang efek pribadi terhadap pembantaian di Indonesia 1965–1966.

Film ini diambil di pulau Bali dan Jawa pada periode 2002-2006. Latar belakang musik tersebut merupakan kolaborasi antara komposer Inggris Malcolm Cross dan musisi Bali Nyoman Wenten, dan menggabungkan tonalities Barat dan struktur chordal dengan skalar Bali dan Jawa deret dan melodi.

Film ini dirilis di Amerika Serikat pada tahun 2009, dan telah diputar terbatas di seluruh Indonesia.

Sekitar 500.000 orang diperkirakan tewas dalam pembersihan tersangka dan yang dituduh komunis di seluruh Indonesia, menjadi salah satu pembunuhan massal terbesar dari abad ke-20. Jenderal Suharto, datang untuk mengontrol kekuasaan militer Indonesia setelah gagal kudeta pada 30 September 1965.

40 Tahun Silence: Sebuah Tragedi Indonesia mengikuti kesaksian dari empat orang dan keluarga mereka dari Jawa Tengah dan Bali, dua daerah yang sangat dipengaruhi oleh pembersihan. Setiap keluarga membahas bagaimana rasanya bagi mereka yang selamat dari pembunuhan.

Film ini menggunakan tiga sejarawan (Romo Baskara Wardaya, Geoffrey Robinson, John Roosa) dan antropolog Robert Lemelson sebagai perawi, memberikan latar belakang sejarah bagi cerita keluarga. Penjelasan sejarah ini diselingi dengan narasi masing-masing karakter dari pengalaman mereka dari pembunuhan dan sesudahnya mereka.

Sebagai cerita terungkap, film ini menceritakan peristiwa politik, ekonomi dan budaya yang signifikan yang mendasari pembantaian.

Film ini menggambarkan aspek bagaimana pembunuhan di luar jangkauan hukum yang berlaku, serta seperti apa kehidupan di bawah otokratik "Orde Baru" rezim Soeharto seperti yang selamat, banyak dari mereka yang keluarganya dicap sebagai anggota partai komunis PKI.

Film ini diakhiri dengan demonstrasi awal dari sebuah periode lebih terbuka dalam sejarah Indonesia setelah jatuhnya rezim Suharto dan pembentukan masa demokratisasi dan reformasi.

4. Jagal

Jagal atau The Act of Killing adalah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer.

Dokumenter ini menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.

Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatra Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pada rentang waktu yang sama, awak film juga mengambil gambar untuk film Senyap yang dirilis sebagai sekuel dua tahun setelah Jagal.

Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu dua tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini.

Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia. Sutradara Errol Morris dan Werner Herzog menjadi produser eksekutif film ini setelah menonton sebagian footage dalam proses pengeditan.

Film ini di putar perdana secara internasional di Toronto International Film Festival pada bulan September 2012.

Di Indonesia film ini diputar perdana di Jakarta pada 1 November 2012. Film Jagal lewat pemutaran berbasis inisiatif masyarakat, sampai bulan Agustus 2013, telah diputar pada lebih dari 1.000 pemutaran di 118 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Sebagian besar pemutaran diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas, dan hanya 25 pemutaran diselenggarakan secara terbuka.

Diperkirakan antara 15.000 sampai 25.000 orang Indonesia telah menontonnya. Di Indonesia film ini tidak diperdagangkan sehingga setiap orang bisa mengadakan pemutaran tanpa harus membayar biaya lisensi, royalti, ataupun biaya pemutaran (screening fee).

Mulai 30 September 2013, film Jagal dapat diunduh gratis dari Indonesia lewat situs resminya. Pada 16 Januari 2014, bersamaan dengan diumumkannya film Jagal sebagai nomini piala Oscar (Academy Awards), pembuat film mengunggah filmnya ke YouTube.

Film Jagal memperoleh berbagai penghargaan, diantaranya Film Dokumenter Terbaik pada British Academy Film and Television Arts Awards 2013 dan nominasi Film Dokumenter Terbaik pada Academy Awards ke-86. Sementara itu, film pendukung dari Jagal, berjudul Senyap ("The Look of Silence") diluncurkan pada 2014.

5. Pengkhianatan G 30 S PKI

Pengkhianatan G 30 S PKI adalah judul film dokudrama propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer, diproduseri oleh G. Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp. 800 juta kala itu, film ini disponsori oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Film ini dibuat berdasarkan pada versi resmi menurut pemerintah kala itu dari peristiwa "Gerakan 30 September" atau "G30S" (peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, yang menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan gerakan kudeta tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati mereka yang tewas dan melawan segala bentuk komunisme. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru.

Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", menggambarkan sukacita dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia".

Film ini adalah film dalam negeri pertama yang dirilis secara komersial dan menampilkan peristiwa 1965 tersebut.[3] Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersial maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu, dan mencapai angka rekor penonton - meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela.

Film ini terus digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto kala itu memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI, untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam.

Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini kemudian dihapuskan sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998.***

Editor: Rendi Mahendra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x