Memilukan! Inilah Dua Tamu yang Dirindukan Presiden Soekarno di Penghujung Hayatnya, Begini Kisahnya

17 April 2021, 15:02 WIB
Profil Presiden Pertama RI Ir. Soekarno /Instagram @presidensukarno/

Lingkar Madiun- Presiden Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya tepat pukul 07.07 WIB, Minggu 21 Juni 1970 setelah menderita komplikasi penyakit yang cukup parah. Hari-hari terakhir Soekarno dihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri.

Beliau seorang tokoh perjuangan yang memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Kisah pilu atas kepergian Sang Proklamator Bung Karno, sampai detik inipun masih menjadi cerita sejarah yang sendu bagi segenap rakyat Indonesia.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Indomie Bagi-bagi Hadiah Berupa Ribuan Jam Tangan Pintar? Begini Penjelasannya

Lantas, seperti apakah sejatinya kisah hari-hari terakhir Presiden Soekarno?

Pasca desas-desus bahwa Presiden Soekarno mendapatkan tuduhan kemungkinan terlibat atau minimal tahu terlebih dahulu peristiwa G30S PKI. Sejak itu, Soekarno tak lagi punya kendali penuh di atas politik sebagaimana ia yakini.

Terpencil dan kesepian , tak lagi memiliki kuasa, dunia Soekarno seperti dijungkirbalikkan. Atas perintah Soeharto, Soekarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.

Dulu setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Soekarno memasuki istana dengan seluruh kebesarannya sebagai pemimpin. Kini, ia keluar dari istana dengan hanya berkaos oblong dan celana piyama.

Baca Juga: Luar Biasa! Zodiak Ini dalam Satu Minggu Mendapatkan Pelajaran Penting

Segala kekayaan yang ia bawa adalah bendera merah putih, beberapa botol minuman ringan, kue-kue dan obat-obatan. Statusnya kini adalah tahanan orde baru, mulanya ia ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor. Namun kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso Jakarta pada 1969.

Penahanan tersebut rupanya berefek buruk bagi kesehatan Soekarno. Hal tersebut dikarenakan tim Dokter Kepresidenan sebelumnya yang mengetahui detail terkait kondisi medis Soekarno telah dibubarkan.

Padahal, diketahui bahwa Soekarno mengidap sakit ginjal parah. Ginjal kanannya sudah mati, sedangkan ginjalnya yang kiri hanya berfungsi 25 %. Selain itu ia juga mengidap sakit jantung dan darah tinggi.

Baca Juga: Shalat Tarawih, Ibadah Sunnah di Bulan Ramadhan untuk Menghapus Dosa-Dosa di Masa Lalu

Sejak ditahan, diagnosis baru muncul yaitu adanya gejala rematik dan katarak. Dalam kondisi demikian. Ia pun masih harus menjalani interogasi dari Kopkamtib terkait keterlibatannya dalam G30S PKI.

Namun, yang paling tragis dari Soekarno kini adalah kenyataan bahwa ia harus menghadapi semua itu nyaris sendirian. Ia dijaga demikian ketat dan diputus dari dunia luar. Bahkan, anak-anak dan istrinya harus dapat izin khusus untuk sekedar menemuinya, dan itu pun dengan waktu yang terbatas.

Baca Juga: Doa Mustajab Saat Waktu Sahur, Hanya Baca Rutin Satu Kali Sehari Berkahnya Terasa Hingga Seumur Hidup

Soekarno pun lunglai ditinggal istri-istrinya. Soekarno pun mendesak Ratna Sari Dewi sang istri agar pergi ke Jepang demi keamanannya. Tak berapa lama, Dewi melahirkan bayi perempuan, buah cintanya dengan Soekarno disana, pada awal 1970 keduanya bercerai begitu juga Haryati dan Yurike Sanger.

Sedangkan istrinya Fatmatwati, meski tak bercerai, ia sudah putus hubungan dengan Soekarno sejak menikahi Hartini pada 1953. Sejak itu hanya sekali ia bertemu lagi dengan Soekarno. Saat pernikahan Guntur Soekarnoputra pada 1970 , pada akhirnya keduanya bercerai.

Baca Juga: 4 Weton Ini Bakal Ketiban Rejeki Mendadak Dapat THR Besar di Bulan Ramadhan 2021 Menurut Primbon Jawa

Setelah itu, hanya Hartini yang bertahan hingga saat-saat terakhir Soekarno. Terpencil dan kesepian, itulah warna dunia Soekarno kini. Sampai akhirnya Soekarno terkena depresi, setiap hari hanya duduk sembari termenung. Bahkan, terkadang berbicara sendiri. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus menurun.

Pada 6 Juni 1970, Soekarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Kelima anaknya dari Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya Bayu dan Taufan hadir di Wisma Yaso di hari bahagia tersebut. Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, yang ada hanyalah Soekarno yang semakin ringkih karena depresi dan penyakit yang di deritanya.

Tak ada yang menyangka bahwa hal tersebut adalah ulang tahun terakhir Soekarno. Pada 11 Juni, Soekarno dilarikan ke RS PHD Gatot Subroto karena kondisi tubuhnya memburuk. Soekarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak diujung rumah sakit.

Baca Juga: Siap-siap Berburu Galaksi Bimasakti Pekan Pertama Ramadhan 2021, Berikut Panduan Memotretnya

“Untuk mencapai kamar tersebut harus melalui beberapa koridor yang dijaga militer dengan persenjataan lengkap,” tulis Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Soekarno.

Di saat-saat kritis itu, datanglah dua tamu yang barangkali bisa memberi sedikit kelegaan di hati Soekarno. Tamu pertama adalah sahabat lamanya yaitu Muhammad Hatta yang datang menjenguk pada 19 Juni.

Dua proklamator yang pecah kongsi dari tahun 1956 tersebut akhirnya bertemu dalam momen yang amat menyentuh. Sejak mereka berpisah, Hatta menjadi salah satu kritikus Soekarno yang paling vokal.

“Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama,” tutur Soekarno dalam autobiografinya.

Baca Juga: Nyeri Asam Urat di Malam Hari? Para Ahli Peringatkan Pertanda Buruk Terkait Ginjal, Begini Penjelasannya

Namun, perbedaan jalan politik tak melunturkan persahabatan mereka. Bagaimanapun dua orang itu pernah menghadapi masa sulit bersama-sama.

“Hatta, kau disini,” kata Soekarno yang terkejut melihat kedatangan Hatta.

“Ya, bagaimana keadaanmu no,” jawab Hatta.

Keduanya lantas berpegangan, tak ada kata-kata lain yang terucap di antara keduanya. Soekarno pun terisak layaknya anak kecil. Hatta yang berusaha tegar, luluh juga akhirnya, ia ikut menitikan air mata dan hanya tangis itulah yang mengisi pertemuan terakhir mereka.

Hanya itu yang terucap dari bibirnya, Hatta tidak mampu mengucapkan lebih.

“Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya, bahunya terguncang-guncang”, tulis Meutia Hatta, Putri Hatta.

Di hari itu juga, keluarga Soekarno mendapat kabar bahwa Ratna Sari Dewi akan datang menjenguk Soekarno. Namun, saat itu Dewi masih tertahan di Singapura karena belum mendapatkan izin dari rezim Soeharto.

Baru keesokan harinya Dewi mendapatkan izin. Rahmawati Soekarnoputri begitu gembira mendengar kabar tersebut, ia tahu benar, perempuan jelita itu yang bisa menghibur hati Soekarno yang lama kering.Setidaknya di saat terakhir ada secercah kebahagiaan untuk bapaknya.

Dewi membawa serta buah hatinya dengan Soekarno yaitu Kartika Sari Dewi, kala itu Kartika yang lebih akrab disapa Karina baru berumur tiga tahun. Karena lahir di Jepang, Soekarno belum pernah melihat anaknya hingga saat itu.

Baca Juga: Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki Meyakini Penambahan Porsi Rasio Kredit Mendorong Pelaku UMKM Indonesia

“Karina kesini ini bapak, this is your father Karina,” kata Dewi ketika keduanya akhirnya bertemu lagi.

Antara sadar dan tidak, tangan Soekarno bergerak seakan-akan ingin menggapai putri kecilnya. Sayang sekali Soekarno sudah tak memiliki daya apa-apa lagi. Bahkan untuk mempertahankan kesadaran adalah perjuangan tersendiri baginya.

Usai kedatangan Dewi dan Kartika, kesadaran Soekarno berangsur hilang. Menjelang tengah malam, ia koma. Keesokan paginya 21 Juni 1970 Soekarno menyerah dan mangkat.

Baca Juga: Ilmuwan Sarankan Untuk Tidak Minum Obat Asetaminofen Saat Nyeri Punggung, Namun Obat Ini!

Kemudian, permintaan Fatmawati agar Soekarno dimakamkan di rumahnya di tolak rezim Soeharto. Soekarno harus disemayamkan di Wisma Yaso. Permohonan Ratna Sari Dewi dan Hartini untuk memakamkannya di Batu Tulis juga di tolak, Soeharto hanya memperkenankan Soekarno di makamkan di Blitar, Jawa Timur.

“Bung Karno sewaktu hidupnya sangat mencintai ibunya, beliau sangat menghormatinya, kalau beliau bepergian jauh kemanapun, beliau sungkem terlebih dahulu, meminta doa restu kepada ibunya, dengan kebiasaan Bung Karno begitu, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau proklamator itu dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar,” demikian dalih Soeharto.

Itulah sederet kisah hari-hari terakhir Presiden Soekarno yang penuh dengan pilu yang menyayat hati, segenap tumpah darah Indonesia. Hari-hari terakhir Soekarno dihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Jasa sang proklamator akan terus dikenang.Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik disisinya.

Aamiin ya rabbal alamin.***

Editor: Yeha Regina Citra Mahardika

Sumber: Kepustakaan Presiden Perpusnas.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler