Ibnu Wahshiyya merupakan keturunan suku bangsa Nabatea (Babilonia kuno). Nenek moyangnya yang pertama memeluk Islam adalah Abdul Karim ayah dari kakek buyutnya.
“ Ibnu Wahshiyya sangat bangga dengan latar belakangnya. Dia menjadi muslim namun tidak meninggalkan tradisi suku bangsanya. Salah satunya dengan mempelajari banyak bahasa kuno termasuk bahasa nenek moyangnya itu bahasa Mesir,” ungkap sejarawan.
Bukunya al-Filahan al-Nabatiyyah (Pertanian Nabatea, tahun 904 M) berisi tentang pengetahuan agronomik dari suku bangsa asli Irak pra-Arab yaitu suku bangsa Nabatea.
Disusul dengan ringkasan tentang agronomi Yunani, al-Filalah al-Rumiyah yang konon merupakan terjemahan dari sumber asli Yunani.
Dua buku tersebut berisi tentang bagaimana cara berurusan dengan tipe dan kualitas tanah yang berbeda-beda dengan implementasi agrikultural dan cara kerja metodik yaitu pemupukan, irigasi, penggunaan hewan, penghilangan hama.
Selain itu, buku tersebut juga membahas tentang berbagai macam masalah penanaman, perawatan dan cara terbaik memanen dari mulai gandum, sayur-mayur sampai bunga untuk dijadikan parfum.
Di bidang Egytology, Ibnu Wahshiyya menulis Syauq al Mustaham fi Ma’rifah Rumuz al-Aqlam yang mencakup 93 skrip hieroglif Mesir kuno. Hal tersebut menunjukkan bahwa warisan Mesopotamia pra-Islam dilestarikan dengan kerja-kerja kersarjanaan yang dilakukan di Abad Pertengahan Islam. Salah satu pelakunya adalah Ibnu Wahshiyya yang banyak menerjemahkan buku dari sumber kuno dengan bahasa beragam.***