1. Air liur harus murni, artinya tidak boleh ada benda lain yang merubah warna air liur itu sendiri.
Misalnya kasus seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada dan mengontaminasi warna air liur, sehingga tidak kembali putih atau bening. Maka hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Atau barangkali ada orang yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian tertelan, hal tersebut juga membatalkan puasa.
2. Air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar.
Di sinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan–yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.
3. Dalam menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya
Apabila ada orang yang dengan sengaja mengumpulkan air liurnya sampai terkumpul banyak, baru kemudian ditelan dalam kondisi banyak tersebut, apakah membatalkan puasa?
Ada dua pendapat yang sama-sama masyhur. Namun paling shahih adalah tidak batal.