Hasil Pantauan NASA dari Peta Luar Angkasa , Polusi di Cina Berhasil Menyusut Setelah Lockdown

- 25 Juni 2021, 07:00 WIB
Hasil pantauan peta ruang angkasa NASA terkait penurunan kadar polusi PM2.5 yang terjadi China Utara setelah kebijakan lockdown (gambar kanan) dan perbandingan sebelumnya di tahun 2019 sebelum lockdown (gambar kiri)
Hasil pantauan peta ruang angkasa NASA terkait penurunan kadar polusi PM2.5 yang terjadi China Utara setelah kebijakan lockdown (gambar kanan) dan perbandingan sebelumnya di tahun 2019 sebelum lockdown (gambar kiri) /NASA

 

LINGKAR MADIUN - Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mencoba memetakan dampak lockdown terhadap polusi udara yang berbahaya.

Hal ini dilakukan karena  sebelumnya para peneliti meyakini kebijakan lockdown total di berbagai negara bisa membuat perubahan 'dramatis' terhadap masalah pencemaran udara di bumi.

Berdasarkan rilis yang diterbitkan NASA pada 24 Juni 2021, Salah satu peneliti dari Washington University, Melanie Hammer mengungkapkan fakta yang berbanding terbalik dari asumsi mereka sebelumnya.

“Di awal pandemi, citra satelit di seluruh dunia memang diperkirakan akan menunjukkan udara yang lebih bersih akibat lockdown covid, secara intuitif ini memang masuk akal, anda mungkin juga akan berpikiran yang sama. Tapi pada kenyataannya tidak,” tuturnya.

Baca Juga: Para Ahli Sarankan Tidak Tidur Dalam Kondisi Rambut Basah Karena Bahaya Untuk Kesehatan Anda

Diterbitkan 23 Juni pada jurnal Science Advances, penelitian baru ini  telah mengintegrasikan data dari satelit Terra dan Aqua NASA, yang menggabungkan data pesawat ruang angkasa dengan pemantauan berbasis darat.

Penelitian tersebut telah memetakan tingkat polusi PM 2.5 sedikitnya pada tiga wilayah yakni di seluruh China, Eropa dan Amerika Utara selama bulan-bulan awal pandemi  dari Januari hingga April pada tahun 2018-2020

Sebagai informasi PM 2.5  adalah salah satu polutan yang seringkali berasal dari sumber yang sama dengan nitrogen dioksida (NO2) . Partikel ini sangat berbahaya karena ketika dihirup dapat mengakibatkan  peningkatan risiko serangan jantung, kanker, dan sejumlah implikasi lain bagi kesehatan manusia. 

Baca Juga: Kunyah 6 Siung Bawang Putih Panggang Setiap Hari, Berikut Efeknya dalam 24 Jam

Lebih lanjut dari hasil perbandingan selama tiga tahun tersebut, peneliti menemukan perubahan kadar polusi PM 2,5 terjadi secara signifikan hanya di wilayah China, namun tidak terjadi di Amerika Utara ataupun Eropa. 

“Kami menemukan sinyal yang paling jelas terdeteksi adalah pengurangan signifikan di Dataran China Utara, di mana penguncian paling ketat terkonsentrasi,” kata Hammer. 

Disebutkan penurunan PM 2,5 di Cina tersebut karena terjadi pengurangan emisi sekitar 50 persen. 

Data ini didapatkan setelah mereka mensimulasikan skenario antara emisi antropogenik nitrogen dioksida yang dipertahankan konstan dengan variabilitas meteorologi yang bertanggung jawab atas perbedaan PM 2.5  selama bulan-bulan lockdown.

Baca Juga: Menag Terbitkan SE Nomor 15 Tahun 2021, Sholat Idul Adha Berjamaah di Zona Merah- Oranye Ditiadakan

 

Hammer menduga perubahan tingkat PM 2.5 di Dataran Cina Utara lebih jelas terlihat, karena tingkat polusi di kawasan itu jauh lebih tinggi selama waktu "normal". 
 
"Ini dapat kita lihat perbandingannya pada peta dimana sejumlah China mulai terlihat membiru hampir secara merata setelah dilakukan lockdown pada 2020," tuturnya. 
 
Sementara di Amerika dan Eropa konsentrasi polusinya sudah lebih dulu berangsur turun sehingga tidak terjadi perubahan yang nyata.
 
Atas hasil tersebut, Hammer mengingatkan bahwa mengatasi polusi PM 2.5 adalah masalah yang sangat kompleks yang tidak akan selesai  hanya dengan mengurangi emisi transportasi melainkan juga harus melihat berbagai faktor penyebab lainnya. ***
 
 

 

 

Editor: Yeha Regina Citra Mahardika


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah