Dua Mantan Panglima TNI Saling Serang Rebutan Nyapres 2024, Gatot dan Moeldoko, Siapa yang Menang?

4 Oktober 2020, 17:22 WIB
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo /ANTARA/Zuhdiar Laeis/ANTARA

 

LINGKAR MADIUN - Baru-baru ini, dua mantan Panglima TNI yaitu Gatot Nurmantyo dan Moeldoko saling serang. Tampak dari beberapa pernyataan serangan Moeldoko terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) ini memberi pernyataan bahwa KAMI merupakan organisasi dengan kepentingan politik. Hal itu setelah Gatot melakukan beberapa kegiatan bersama KAMI. Seperti misalnya, tabur bunga di TMP Kalibata yang juga dihadiri anggota KAMI.

"Mereka itu bentuknya hanya sekumpulan kepentingan. Silakan saja, tidak ada yang melarang. Kalau gagasannya bagus, kami ambil. Tetapi kalau arahnya memaksakan kepentingan, akan ada perhitungannya," tegas Moeldoko dalam keterangannya pada Kamis, 1 Oktober 2020.

Baca Juga: Bilang ‘Pasien Bukan Covid-19 Disebut Covid-19 Demi Keruk Anggaran Negara’, Moeldoko Dihujat Dokter

Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun, Kota Dikepung Usai Sepak Bola dan Madiun di Lockdown

Gatot pun memberi tanggapan terkait serangan Moeldoko itu.Tentu membela organisasi yang diinisiasi Din Syamsudin itu.

"Boleh-boleh saja kalau menyangka KAMI saya gunakan untuk nyapres. Namanya juga politikus pasti dikaitkan dengan politik. Saya hargai itu," ujar Gatot.

Maka tak heran, jika saling serang antar mantan Panglima itu dikaitkan sejumlah pengamat dengan peluang keduanya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Moeldoko dan Gatot memang sama-sama mendapat respons publik yang positif berdasarkan hasil survei

Akan tetapi, dibandingkan Moeldoko, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo melihat peluang Gatot untuk maju di Pilpres 2024 lebih besar.

Polemik Moeldoko dan Gatot Nurmanyo. ANTARA

Dikutip dari Warta Ekonomi artikel Adu Mulut Gatot Vs Moeldoko, Perang Nyapres 2024? Setidaknya hal itu dilihat dari geliat Gatot untuk lebih menunjukkan kesiapan maju ketimbang Moeldoko.

"Mungkin disebabkan posisi Moeldoko yang dilematis. Di satu sisi posisi Moeldoko ada di dalam pemerintahan sebagai kepala KSP, sehingga masih banyak pertimbangan untuk bermanuver," kata Karyono saat dihubungi, Minggu 4 Oktober 2020.

"Sebagai kepala KSP, Moeldoko harus mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan di pemerintahan. Tapi karakter seperti Moeldoko yang sadar dengan posisinya dan lingkungannya merupakan sikap yang profesional dan menjunjung tinggi etika," tambahnya.

Karyono menganggap, Gatot lebih bebas untuk bermanuver tanpa beban psikologis karena di luar pemerintahan. Namun demikian, baik Gatot maupun Moeldoko jika dilihat dari aspek elektabilitas masih sangat rendah. Elektabilitas kedua figur mantan panglima TNI tersebut masih belum sampai 5 persen.

Elektabilitas Gatot menurut hasil survei Indikator Poltik Indonesia pada Juli 2020 baru 1,4 persen. Elektabilitas Gatot untuk sementara masih tertinggal jauh dibanding tokoh lain seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Khofiffah Indarparawangsa, Tri Rismaharini.

Menurutnya, peluang Gatot dan Moeldoko dalam kontestasi pilpres yang akan datang masih sangat kecil. Selain harus bersaing dengan tokoh-tokoh sipil, Gatot dan Moeldoko harus bersaing dengan sesama figur dari latar belakang militer. Peluang kemenangan Gatot dan Moeldoko masih jauh di bawah Prabowo.

Bahkan di bawah AHY juniornya di TNI yang masih muda belia. Padahal salah satu untuk mendapatkan dukungan partai adalah modal popularitas dan elektabilitas. Untuk meningkatkan peluang kemenangan tidak cukup bermodalkan popularitas saja tetapi harus memiliki modal sosial, akseptabilitas dan elektabilitas yang memadai," ujar dia.

Sementara itu, kata Karyono, apa yang dilakukan Gatot dalam beberapa tahun dengan memilih jalan kontroversi tentu akan mendongkrak popularitas Gatot. Tapi yang perlu diperhatikan adalah seberapa besar sentimen positif dan negatif. Jika sentimen positif lebih besar maka berpotensi meningkatkan akseptabilitas dan elektabilitas.

"Itu pun masih harus bersaing dengan figur-figur lain yang memiliki modal sosial, popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang lebih tinggi lebih dulu. Sebaliknya, jika sentimen negatifnya lebih tinggi maka potensi untuk meningkatkan akseptabilitas dan elektabilitas semakin berat," paparnya.

Lebih lanjut Karyono mengatakan, Gatot nampaknya menggunakan strategi contrasting untuk mendapatkan tiket maju di pilpres. Hal itu bisa dilihat dari manuver Gatot lebih condong mendekati kelompok politik Islam yang beroposisi dengan pemerintah dengan harapan mendapatkan dukungan politik. Tetapi, nampaknya tidak mudah karena masih banyak irisan kepentingan di kelompok sayap Islam yang kontra dengan pemerintah.

Dia menganggap, ceruk pemilih kelompok Islam ini belum mengerucut. Bisa jadi kelompok ini masih berhitung yang pada akhirnya akan memilih calon yang lebih menguntungkan secara politik maupun ideologis. Situasi seperti ini tentu membuat Gatot berada pada posisi dilema di pertarungan pilpres 2024 yang akan datang.

"Menurut saya, di antara tokoh berlatar belakang miliiter yang paling memiliki peluang elektoral di pilpres 2024 adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dilihat dari pelbagai aspek seperti dukungan partai, modal sosial, track record, dan modal elektoral," pungkas dia.***

Editor: Rendi Mahendra

Sumber: Warta Ekonomi

Tags

Terkini

Terpopuler