Relawan Mendapat Jatah Kursi Komisaris di BUMN, Media Asing Sebut Jokowi Seperti Soeharto Kecil

16 November 2020, 18:35 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) /twitter/Jokowi

LINGKAR MADIUN – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disorot dari berbagai segi, beberapa survei menunjukkan respon masyarakat yang negatif terhadap pemerintahan Jokowi.

"Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (76,6 persen)," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, dikutip dari The Convertation.

Meski demikian, kritik terhadap  pemerintahan Jokowi seperti terpilihnya beberapa relawan Jokowi menjadi komisaris di beberapa perusahaaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN, tetap disuarakan oleh masyarakat.

Baca Juga: Ternyata Bentuk Pusar Mengungkap Kepribadianmu Sebenarnya, Simak Penjelasan Berikut Ini

Baca Juga: Golongan Darah O Memiliki Kepribadian yang Begitu Unik dan Memegang Peranan Penting. Simak Berikut

Terkait gonjang-ganjing di BUMN itu, media luar negeri ikut bersuara. Seperti South China Morning Post  (SCMP), media berbasis di Hongkong itu, menurunkan sebuah artikel dengan judul “‘Little Suharto’? Indonesian leader Widodo’s places Twitter personalities, allies in key posts, sparking backlash

Artikel itu menyoroti Kristia Budiyarto,yang beberapa pekan lalu ditunjuk sebagai Komisaris di Pelni, salah satu perusahaan pelayaran milik negara terbesar di Indonesia.

Kristia Budiyarto dikenal sebagai seorang influencer dengan pengikut di Twitter hampir 100 ribu orang. Melalui akun Twitternya pada gelaran Pilpres 2019, Kristia banyak mencuit pujian atas progam dan kebijakan yang diusulkan Presiden Jokowi.

Kursi komisaris itu tampak seperti hadiah yang diberikan pemerintah kepada pendukung Jokowi, sekalipun latar belakang yang dimiliki tidak relevan.

“Hal itu memicu perdebatan tentang apakah Pemerintahan Jokowi,  memberi penghargaan kepada para pendukung, bahkan ketika mereka tidak memiliki latar belakang yang relevan,” dikutip dari SCMP, pada Senin, 16 November 2020.

Tak hanya Kristia Budiyarto, sejumlah nama tim sukses Jokowi yang lain juga menempati kursi komisaris di beberapa perusahaan BUMN.

Seperti Ulin Yusron mendapat jatah kursi komisaris independen di PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), pada tanggal 8 Oktober.

Selain itu, Tim sukses Jokowi sejak Pilkada Solo, Eko Sulistiyo ditunjuk sebagai komisari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dyah Kartika Rini juga kebagian jatah kursi komisaris independen PT Jasa Raharja. Dyah diketahui pernah menjadi relawan Jokowi saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2021 silan dan Pilpres 2014.

Bagi Badan Usaha Milik Negara Indonesia, peran dewan komisaris adalah mengawasi dan memberi masukan atas pengelolaan perusahaan.

Dewan Komisaris sendiri tidak memiliki kekuatan untuk membuat keputusan, dan gaji bulanan seorang komisaris BUMN berkisar antara Rp80 juta rupiah hingga sekitar Rp3 miliar.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, menilai praktik tersebut menunjukkan kemunduran di Indonesia.

 “Ini adalah bentuk kronisme, yang oleh pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang legal, tetapi sebenarnya menunjukkan kemunduran kenegarawanan di Indonesia,” katanya.

“Tidak ada oposisi di Indonesia. Presiden Jokowi kini tak berdaya karena mendapat banyak 'tagihan' dari para pendukungnya. Akibatnya mereka diberi kursi di dewan komisaris perusahaan milik negara,” tambahnya.

Selain memberikan kursi kepada pendukungnya, langkah Pemerintahan Jokowi yang tak kalah mengagetkan adalah  menunjuk lawannya di Pilpres 2019, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.

Sontak Partai Gerindra besutan Prabowo kemudian bergabung dengan koalisi Jokowi di Dewan Perwakilan Rakyat, koalisi tersebut membuat kursi pendukung pemerintahan menjadi lebih dari 74 persen dari total kursi.

Menjadikan partai oposisi di pemerintahan Presiden Joko Widodo berkurang dan roda pemerintahan tak imbang, kini partai oposisi hanya diisi PKS, Demokrat, dan PAN.

“Jokowi tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Dia mengandalkan tokoh masyarakat dan relawan selama pemilu untuk mendapatkan pendukung, dan dia tahu bahwa dia wajib membalasnya, ”kata Sulfikar Amir, profesor madya di Sekolah Ilmu Sosial di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

“Jokowi kemudian terjebak dalam agenda oligarki, yang menurutnya sejalan dengan tujuannya. Agenda ini tidak bisa dinilai kritis, kini hanya fokus pada peningkatan investasi, dan itu membawa kita kembali ke era Soeharto. Dia adalah Suharto kecil, menurut saya, ” tambahnya.***

Editor: Rendi Mahendra

Sumber: The Conversation SCMP

Tags

Terkini

Terpopuler