LINGKAR MADIUN - Peristiwa huru-hara 1 Oktober 1965 membuat gempar banyak pihak.
Hura-hara termasuk dalam kontestasi politik di mana muncul dua nama besar waktu itu, yakni Soeharto dan Nasution.
Meskipun Soeharto telah menjadi man of the hour (orang paling penting) pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya yang condong ke Nasution.
Baca Juga: Main Tetris Ternyata Bisa Obati Gangguan Mental PTSD, Berikut Ulasan Lengkapnya
Nasution diharapkan menjadi pemimpin oleh sebagian tentara untuk mengambil kendali dengan lebih tegas atas situasi yang berlangsung.
Namun Nasution nampak bimbang, yang kemudian membuat dukungan perlahan mulai menjauh darinya.
Alasan utama Nasution bimbang kemungkinan besar karena ia masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada 6 Oktober lalu.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution adalah orang yang terus-menerus melobi Soekarno agar Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat.
Di sisi lain, Soekarno tetap ingin mempertahankan Pranoto sebagai Panglima Angkatan Darat, dan mengangkat Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib.
Tetapi dengan lobi terus-menerus oleh Nasution, Soekarno akhirnya mengangkat Soeharto sebagai panglima tentara pada 14 Oktober 1965.
Baca Juga: MasyaAllah, Orang Tua yang Memiliki Anak Perempuan Akan Diberikan Ganjaran Besar Ini
Dilansir dari John Hughes dalam buku The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild (3rd ed.), Nasution juga melepaskan kesempatan emas pada Desember 1965.
Kesempatan emas tersebut adalah ia tidak berbuat apa-apa ketika muncul pembicaraan tentang pengangkatannya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno di masa-masa yang tidak pasti.
Sebaliknya, Soeharto yang momentum politiknya sedang tumbuh melakukan sebuah inisiatif di tahun 1966.
Baca Juga: Spoiler dan Link Baca Tokyo Revengers Chapter 227: Masa Lalu Terano South Terungkap
Inisiatif tersebut adalah Soeharto mengeluarkan pernyataan bahwa tidak perlu mengisi jabatan wakil presiden yang kosong.
Pada 24 Februari 1966, Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet, dan jabatan Kepala Staf ABRI juga ditiadakan.
Pada tahap ini, harapan Nasution akan melakukan sesuatu telah sirna ketika para perwira militer dan gerakan mahasiswa bersatu di belakang Soeharto.
Baca Juga: Spoiler dan Link Baca Boruto Chapter 63: Hadapi Code, Boruto Berubah Menjadi Otsutsuki
Meskipun begitu, ia tetap menjadi sosok yang disegani, karena banyak perwira militer yang mengunjunginya.
Kunjungan tersebut dilakukan jelang penandatanganan dokumen 'Supersemar,' penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi ke Mabes Kostrad untuk menunggu penyerahan Supersemar, ia menelepon Nasution dan meminta restunya.
Baca Juga: Disebutkan oleh Ibnu Abbas, Gunung yang Ada di Armenia Ini Diyakini Sebagai Tembok Yakjuj dan Makjuj
Istri Nasution memberikan restu atas nama Nasution yang tidak hadir.
Perasaan politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar.
Mungkin dialah yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto, tetapi juga memberinya kendali eksekutif.
Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang PKI, Nasution mengusulkan kepada Soeharto agar ia membentuk kabinet darurat.
Soeharto masih berhati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuasaan barunya, menjawab bahwa membentuk kabinet adalah tanggung jawab presiden.
Nasution menyemangati Soeharto dan menjanjikan dukungan penuh, tetapi Soeharto tidak menanggapi, kemudian percakapan berakhir dengan tiba-tiba. ***