Soal Pengesahan RUU Cipta Kerja, Syarif Hasan: RUU Ini Mempermudah Perusahaan Melakukan PHK!

- 5 Oktober 2020, 07:20 WIB
Politisi Partai Demokrat, Syarief Hasan
Politisi Partai Demokrat, Syarief Hasan /ANTARA/Prasetya Utomo

LINGKAR MADIUN – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Syarief Hasan, mengatakan dirinya tidak setuju pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

"Dan bila RUU ini akan disahkan oleh Paripurna DPR, maka Partai Demokrat pasti menolak atau minta untuk ditunda," kata Politisi Partai Demokrat ini di Jakarta, Minggu.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia itu menyayangkan adanya aspirasi masyarakat yang tidak terserap oleh pemerintah dalam draf RUU tersebut.

Baca Juga: Harga Emas Antam dan UBS Hari ini di Pegadaian, Senin 5 Oktober 2020, Cek Sebelum Memutuskan Membeli

Baca Juga: Dua Mantan Panglima TNI Saling Serang Rebutan Nyapres 2024, Gatot dan Moeldoko, Siapa yang Menang?

Selain itu, kata Syarief, banyak muatan dalam RUU Omnibus Law tersebut yang ditolak elemen masyarakat di Indonesia karena dinilai tidak pro terhadap rakyat.

Muatan bermasalah tersebut, kata dia, seperti aturan pesangon yang semakin menurun kualitasnya dan tanpa kepastian hukum yang jelas.

RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil," kata Syarief.

Pemerintah dan DPR RI juga bersepakat untuk memasukkan skema baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law untuk menyelesaikan permasalahan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dinilai merugikan pekerja.

JKP yang menggunakan skema asuransi itu dinilai akan menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup besar.

Karena, selain mengharuskan pemerintah memberi dana kas atau data tunai per bulan kepada pekerja PHK, aturan terkait JKP juga mengharuskan pemerintah menyiapkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pekerja untuk meningkatkan skill dan kapasitas pekerja dan memberi informasi pekerjaan atau menyalurkan pekerja kepada pekerjaan baru.

"Aturan baru ini malah tidak implementatif, kontraproduktif, dan tidak pro-rakyat," ujar Syarief.

Selain itu, Syarief juga mengatakan akan ada ketentuan upah minimum yang hilang dengan disahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yaitu ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK).

"Sebab, Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK Kabupatennya, kecuali di DKI Jakarta. Akibatnya, upah buruh menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil," ujar Syarief.

Namun, sebelumnya pada 28 September 2020, DPR dan Pemerintah hanya bersepakat untuk menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral, dan tetap mempertahankan ketentuan terkait Upah Minimum Provinsi maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota.

Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi pada saat itu, sepakat dengan keputusan mempertahankan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten atau Kota.

"Pemerintah menyampaikan dua bentuk upah minimum sebagai safety net, yang pertama adalah upah minimum provinsi, kedua adalah upah minimum kabupaten atau kota sesuai dengan persyaratan yang kami ajukan," kata Elen dalam rapat Panja RUU Cipta Kerja saat itu.***

Editor: Rendi Mahendra

Sumber: Permenpan RB


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x