Jokowi Dinilai Bagi-bagi Kursi Komisaris di BUMN, Pengamat: Bagi Saya, Jokowi Adalah Soeharto Kecil

16 November 2020, 17:44 WIB
Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) /Twitter/KawanJokowi

LINGKAR MADIUN – Baru-baru ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kepemimpinan Erick Thohir mendapat sorotan dari publik.

Mengenai BUMN itu, pengamat menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mirip dengan pemerintahan di era Soeharto, bahkan pengamat menyebut Jokowi sebagai Soeharto kecil.

Hal itu, disinyalir karena kursi petinggi dan komisaris di perusahaan BUMN diberikan kepada pendukung Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Jalan Pahlawan Kota Madiun Disulap Seperti Malioboro, Pemkot Sebut Progres Sudah 90 Persen

Baca Juga: Tipe-tipe Wanita Berdasarkan Bulan Kelahiran, Apakah Sesuai dengan Kepribadianmu? Simak Ulasannya

Terkait gonjang-ganjing di BUMN itu, media luar negeri ikut bersuara. Seperti South China Morning Post  (SCMP), media berbasis di Hongkong itu, menurunkan sebuah artikel dengan judul “‘Little Suharto’? Indonesian leader Widodo’s places Twitter personalities, allies in key posts, sparking backlash

Pertama-tama artikel itu menyoroti Kristia Budiyarto, seorang influencer dengan pengikut di Twitter hampir 100 ribu orang.

Kristia Budiyarto dikenal sebagai pendukung Jowoi, melalui akun Twitternya pada gelaran Pilpres 2019, Kristia banyak mencuit pujian atas progam dan kebijakan yang diusulkan Presiden Jokowi.

Setelah itu, beberapa pekan lalu Kristia ditunjuk sebagai Komisaris di Pelni, salah satu perusahaan pelayaran milik negara terbesar di Indonesia.

Kursi komisaris itu tampak seperti hadiah yang diberikan pemerintah kepada pendukung Jokowi, sekalipun latar belakang yang dimiliki tidak relevan.

“Hal itu memicu perdebatan tentang apakah Pemerintahan Jokowi,  memberi penghargaan kepada para pendukung, bahkan ketika mereka tidak memiliki latar belakang yang relevan,” dikutip dari SCMP, pada Senin, 16 November 2020.

Tak hanya Kristia Budiyarto, sejumlah nama tim sukses Jokowi yang lain juga menempati kursi komisaris di beberapa perusahaan BUMN.

Seperti Ulin Yusron mendapat jatah kursi komisaris independen di PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), pada tanggal 8 Oktober.

Hal itu tertuang di dalam Surat Keputusan Nomor: SK-319/MBU/10/2020 tertanggal 8 Oktober 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan Pengembangan Pariwisata Nasional.

Kemudian, tim sukses Jokowi sejak Pilkada Solo Eko Sulistiyo ditunjuk sebagai komisari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Presiden Joko Widodo Joko Widodo

Penunjukannya berdasarkan SK Nomor: SK-330/MBMU/10/2020 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan PT Perusahaan Listrik Negara tertanggal 9 Oktober 2020. Eko diketahui juga pernah menduduki jabatan sebagai Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan pada periode 2014-2019.

Selanjutnya, Dyah Kartika Rini juga kebagian jatah kursi komisaris independen PT Jasa Raharja. Dyah diketahui pernah menjadi relawan Jokowi saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2021 silan dan Pilpres 2014.

Bagi Badan Usaha Milik Negara Indonesia, peran dewan komisaris adalah mengawasi dan memberi masukan atas pengelolaan perusahaan.

Dewan sendiri tidak memiliki kekuatan untuk membuat keputusan. Ada 142 BUMN di Indonesia, dan gaji bulanan seorang komisaris BUMN berkisar antara Rp80 juta rupiah  hingga sekitar Rp3 miliar

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, menilai praktik tersebut menunjukkan kemunduran di Indonesia.

 “Ini adalah bentuk kronisme, yang oleh pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang legal, tetapi sebenarnya menunjukkan kemunduran kenegarawanan di Indonesia,” katanya.

“Tidak ada oposisi di Indonesia. Presiden Jokowi kini tak berdaya karena mendapat banyak 'tagihan' dari para pendukungnya. Akibatnya mereka diberi kursi di dewan komisaris perusahaan milik negara,” tambahnya.

Selain memberikan kursi kepada pendukungnya, langkah Pemerintahan Jokowi yang tak kalah mengagetkan adalah  menunjuk lawannya di Pilpres 2019, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.

Sontak Partai Gerindra besutan Prabowo kemudian bergabung dengan koalisi Jokowi di Dewan Perwakilan Rakyat, koalisi tersebut membuat kursi pendukung pemerintahan menjadi lebih dari 74 persen dari total kursi.

Menjadikan partai oposisi di pemerintahan Presiden Joko Widodo berkurang dan roda pemerintahan tak imbang, kini partai oposisi hanya diisi PKS, Demokrat, dan PAN.

“Jokowi tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Dia mengandalkan tokoh masyarakat dan relawan selama pemilu untuk mendapatkan pendukung, dan dia tahu bahwa dia wajib membalasnya, ”kata Sulfikar Amir, profesor madya di Sekolah Ilmu Sosial di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

“Jokowi kemudian terjebak dalam agenda oligarki, yang menurutnya sejalan dengan tujuannya. Agenda ini tidak bisa dinilai kritis, kini hanya fokus pada peningkatan investasi, dan itu membawa kita kembali ke era Soeharto. Dia adalah Suharto kecil, menurut saya, ” tambahnya.***

Editor: Rendi Mahendra

Sumber: SCMP

Tags

Terkini

Terpopuler