Meski Dianggap Tidak Ramah Lingkungan, Indonesia berhasil Raih Untung Besar dari Tambang Batu Bara

- 30 September 2021, 14:31 WIB
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga batu bara.
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga batu bara. /Pixabay/

LINGKAR MADIUN - Perkembangan pertambangan batu bara di Indonesia mencapai masa produktif untuk saat ini.

Bagaimana tidak, Indonesia berhasil menyumbangkan batu bara dengan nilai ekspor tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.

Hal tersebut terjadi karena banyak negara telah menutup pertambangan batu bara mereka guna mendukung program penghijauan bumi.

Baca Juga: Sulit Menelan Makanan Merupakan Tanda Penyakit Serius, Waspadalah Bisa Jadi Anda Terkena Kanker Tenggorokan 

Seolah tidak ambil pusing, Indonesia justru memanfaatkan kurangnya pasokan batu bara dunia tersebut dengan mendorong penuh pertambangan batu baranya.

Dilansir lingkarmadiun.pikiran-rakyat.com dari Reuters pada 20 September 2021, Indonesia memilih untuk tetap menjual batu bara karena merupakan bahan bakar pembangkit listrik bagi negara.

Pembangkit listrik tenaga batu bara adalah sumber emisi terbesar kedua di Indonesia setelah deforestasi, menyumbang 35 persen dari 1.262 gigaton per tahun.

Baca Juga: Buah dan Sayur Tak Selamanya Menyehatkan, Studi Ungkap Bahan Makanan Penyebab Wabah E.Coli dan Salmonella 

Indonesia mengonsumsi sekitar 130 juta ton batu bara per tahun untuk bahan bakar 60 persen dari kapasitas listrik 73 gigawatt (GW), dan mengekspor sekitar tiga kali lipat dari jumlah tersebut.

Sumber terbarukan seperti surya, hidro, dan panas bumi hanya mencakup 11 persen dari bauran energinya, meskipun para ahli mengatakan Indonesia memiliki 400 GW potensi terbarukan.

Pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 23 persen pada tahun 2025.

Baca Juga: Coba Konsumsi Asupan Ini Seminggu Sekali, Pangkas Risiko Diabetes Lebih Baik Dibandingkan Makan Suplemen 

Namun, data dari lembaga think-tank energi IEEFA menunjukkan bahwa sekitar 16 GW kapasitas tenaga batu bara baru diperkirakan akan mulai beroperasi antara tahun 2021 dan 2030.

"Karena seluruh kebutuhan di Jawa dan Bali telah dipenuhi oleh batu bara, bahkan terjadi oversupply, yang secara efektif mematikan energi terbarukan," kata Adhityani Putri, direktur eksekutif Yayasan Indonesia Cerah.

Tenaga batu bara tetap menjadi pilihan termurah, dengan biaya sekitar 600 rupiah (4,22 sen AS) per kilowatt-hour (kWh) tahun lalu, dibandingkan gas sekitar 1.600 rupiah per kWh dan panas bumi pada 1.100 rupiah per kWH.

Baca Juga: Sering Pusing, Kesemutan, Hingga Merasa Sulit Berjalan? Waspadalah Bisa Jadi Anda Alami Kondisi Kronis Ini 

Cerah dan kelompok hijau lainnya telah berkampanye untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara lebih awal, tetapi para pejabat mengatakan ini dapat memicu denda karena melanggar kontrak dengan produsen listrik independen.

Sementara itu, harga batu bara mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun ini, membantu Indonesia mencatat rekor ekspor dan surplus perdagangan pada Agustus 2021.

Pemerintah menaikkan target produksi batu bara 2021 sebesar 14 persen menjadi 625 juta ton untuk diuangkan.

Baca Juga: Meski Ada Ancaman Radiasi Nuklir, Amerika Serikat Tetap Buka Jalan Impor Makanan dari Jepang 

Di sisi lain, parlemen sedang meninjau pajak karbon yang diusulkan pemerintah, dan Indonesia memiliki rencana ambisius untuk menggunakan cadangan nikelnya untuk menjadi pusat produksi baterai dan kendaraan listrik.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyadari kerentanannya terhadap perubahan iklim, tetapi kebijakan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi, termasuk masa depan batu bara dan lapangan kerja yang disediakan.

"Jika Anda tidak memikirkan hal-hal seperti ini, orang-orang bisa tersesat dalam semua transisi ini dan itu bisa menjadi masalah sosial baru," kata Sri Mulyani kepada Reuters. ***

Editor: Dwiyan Setya Nugraha


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah