Asal Mula Korupsi: Tradisi Kebodohan Penyebab Nusantara Jatuh, VOC Runtuh, Indonesia Hancur?

30 Agustus 2021, 10:10 WIB
Diksi 'KORUPTOR' Diganti 'PENYINTAS KORUPSI', 170 Media PRMN Menolak, Ganti MALING, RAMPOK GARONG Uang Rakyat /Forum Pimred PRMN

LINGKAR MADIUN – Korupsi memang sudah melekat dalam citra masyarakat Indonesia yang sulit dihilangkan.

Sebenarnya praktik korupsi bukanlah praktik ‘kemarin sore‘, melainkan praktik yang menjadi tradisi turun temurun dari zaman kerajaan kuno hingga penjajahan Belanda.

Menurut sejarah, korupsi adalah tradisi yang telah ada hampir setua peradaban itu sendiri.

Baca Juga: Novel Baswedan Hingga Ernest Prakasa Dukung Sikap Pikiran Rakyat Media Network Ganti 'Koruptor' Jadi 'Maling'

Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak abad 13. Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit dan Mataram hingga kerajaan lainnya di Nusantara.

Praktik pungli ini dilakukan untuk mengambil jalan pintas dalam mengusai jabatan tertentu atau memperoleh sesuatu.

Sejarawan Ong Hok Ham pun turut menjelaskan hal itu. Dia mengungkap bahwa tradisi pungli tidak bisa dihilangkan karena pejabat kerajaan kuno ini tak digaji oleh raja, sehingga mereka mencari pendapatan lain.

Baca Juga: Sebut Eks-Koruptor Penyintas dan Jadi Penyuluh Anti Korupsi, Said Didu: Mereka Pelakunya Kok Dianggap ‘Korban’

Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem korup ini. Sebab, seorang raja menerima sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat.

Akan tetapi, jumlah yang diberikan ke raja oleh para pejabat kerajaan relatif kecil daripada yang para pejabat itu terima dari upeti dan pungli.

Kebiasaan inilah yang membuat ekonomi macet dan rakyat kesusahan, hingga akhirnya zaman keemasan kerajaan Nusantara buyar.

Baca Juga: Eks Koruptor Jadi Komisaris BUMN, Warganet: Lamar Kerja Pakai SKCK, Lha Ini?

Selain invasi penjajah dan pemberontakan, jatuhnya Nusantara adalah karena masalah finansial.

Tradisi pungli semakin pesat kala sistem tanam paksa diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch (1830–1833) pada 1830.

Aturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya tebu, kopi, dan teh.

Baca Juga: 5 Film Bertema Perjuangan Rakyat Indonesia yang Bangkitkan Semangat Kemerdekaan

Kebijakan itu pun menjadi ladang subur aksi pungli.Ironisnya, para bupati terkesan menutup mata terhadap penderitaan dan kesengsaraan rakyat.

Mereka hanya memeras rakyat agar dipuji sebagai bupati yang baik dan diberi bintang jasa oleh penjajah, sambil tetap melanjutkan praktik korupsi.

Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker dalam novel legendarisnya Max Havelaar (1860), Multatuli membahas kebobrokan pejabat bumiputra dan kolonialisme Belanda.

Baca Juga: Cek Rekeningmu! Kemnaker Gagal Kirim BLT Subsidi Upah 2021 Tahap 3 untuk 71.931 Rekening

Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari pejabat bumiputra yang korup.

Saat zaman keemasan VOC, selain terjadi manipulasi harga, pejabat pribumi dan VOC juga melakukan penjualan kedudukan dan sistem dagang monopoli.

Oleh karena itu, kongsi dagang VOC semakin miskin, tapi para pejabat VOC semakin kaya karena mereka menarik uang untuk kekayaan pribadi.

Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara sering hidup mewah, suka pamer, berpesta, dan bergaya hidup feodal.

Baca Juga: Arief Muhammad Sindir Penghapusan Mural oleh Aparat, Bahkan Ajak Turunkan Poster Caleg saat Pemilu Kelak

Sikap itu tumbuh dicerminkan para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta karena melimpahnya hasil pungli.

Kebiasaan ini pun tumbuh subur dan diwariskan dalam gaya hidup pribumi, bahkan jauh setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia.

Praktik korupsi ini masih subur hingga sekarang. Tapi bukan tidak mungkin jika korupsi bisa hilang di kemudian hari.

Baca Juga: 5 Gejala Covid-19 yang Sering Muncul Meski Sudah Divaksinasi, Simak Begini Ulasannya

Tentu saja dibutuhkan banyak orang jujur dan berintegritas dalam memeranginya serta hukum tegas yang membuat maling uang rakyat tersebut kapok.

Sehubungan dengan ini, Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

PRMN tidak lagi menggunakan diksi halus ‘koruptor‘ atau ‘penyintas korupsi‘ bagi para terdakwa korupsi.

PRMN akan menyebut kata maling, rampok, dan garong uang rakyat, karena sebutan itulah yang memang pantas untuk mereka.***

Editor: Dwiyan Setya Nugraha

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler