LINGKAR MADIUN - Khin, seorang petani padi berusia 59 tahun asal Myanmar menghadapi pilihan sulit ketika berada di puncak musim hujan.
Kondisi benar-benar buruk ketika harga pupuk melonjak tinggi, karena kudeta militer dan merebaknya COVID-19 membuat semua hal terasa sulit.
Bahkan tiga bulan lalu, Khin terpaksa menjual seekor sapi miliknya dengan harga setengah dari nilai jualnya.
Dilansir dari The New Humanitarian, hasil penjualan sapi digunakan untuk membeli makanan untuk keluarganya, dan tambahan modal untuk pertanian padi kecilnya di zona kering.
"Kami hanya makan apa saja yang tersedia," ungkap Khin kepada The New Humanitarian melalui sambungan telepon.
Khin menyalahkan nasib keluarganya pada ketidakstabilan politik sejak kudeta, dan gelombang ketiga pandemi COVID-19.
Baca Juga: Indonesia Masih Belum, Malaysia Sudah Izinkan Warganya untuk Umrah Jika Sudah Vaksinasi Penuh
Saat ini, biaya untuk keperluan pertanian, seperti pupuk mengalami lonjakan, sedangkan harga tanaman terus mengalami penurunan.
"Saya sangat khawatir, karena saya tidak tahu harus pergi ke mana atau bagaimana bertahan hidup jika keadaan memburuk," tambah Khin.
Kudeta telah menjungkirbalikkan kehidupan di seluruh negeri, memperburuk dan memperbanyak konflik, serta membuat ekonomi jatuh bebas.
Bank Pembangunan Asia baru-baru ini memperkirakan PDB Myanmar akan menyusut 18,4 persen pada tahun 2021.
Pada September lalu, mata uang juga sudah kehilangan 60 persen nilainya yang mengakibatkan lonjakan harga pada makanan dan bahan bakar.
Beberapa petani mengatakan bahwa mereka tidak yakin akan bisa terus mencari makan sendiri dalam waktu jangka panjang.
Baca Juga: Harus Tahu! Inilah Markas Besar Iblis dan Bala Tentaranya di Muka Bumi
Kebanyakan dari mereka mengambil utang yang lebih besar sembari mengurangi jatah makan sehari-hari untuk bertahan hidup.
Para petani di Myanmar yang berbicara kepada The New Humanitarian meminta agar nama lengkap mereka tidak diungkap, karena takut kepada militer. ***